Pages

Wawasan Dalam Manajemen Retail

Senin, 21 Juni 2010 17.27 by Diary of Melody
Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia menjadi pasar yang atraktif bagi beberapa ritel (eceran) kelas dunia. Carrefour misalnya terlihat cukup serius untuk menggarap potensi pasar Indonesia. Demikian halnya Macro dan Giant yang turut meramaikan persaingan bisnis ritel. Hal yang sama dilakukan oleh beberapa minimarket seperti Alfamart, Indomaret, dan Yomart yang bersaing dalam memasarkan produk dalam jumlah kecil. Tiga nama terakhir bahkan terlihat bersaing secara konfrontatif, dengan mendirikan minimarket dengan lokasi yang berdekatan satu sama lain.

Kondisi ini memunculkan pertanyaan krusial, seberapa pentingkah peran lokasi dalam bisnis ritel? Faktor lokasi tidak dapat dipungkiri berkontribusi terhadap kesuksesan bisnis ritel. Kemudahan konsumen dalam menjangkau ritel memang menjadi salah satu alasan yang mendorong mereka untuk membelanjakan uang mereka di peritel tersebut. Ada kecenderungan yang kuat konsumen berbelanja di ritel yang lebih dekat lokasinya. Meskipun kecenderungan ini bukan determinan utama motif berbelanja, tetap saja lokasi menjadi titik fokus para peritel dalam salah satu fondasi strategi bisnis mereka.

Salah satu indikator pentingnya lokasi ini dapat terlihat dari upaya pakar dalam mengkuantifikasi probabilitas keunggulan suatu ritel yang didasarkan pada faktor lokasi. Salah satu pendekatan populer adalah Model Gravitasi Huff. Asumsi fundamental dari model ini adalah determinasi lokasi sebagai aksentuasi analisis kuantitatif keunggulan bersaing sebuah ritel. Ritel pada dasarnya adalah sama, kecuali dalam hal jarak dan ukuran ritel tersebut. Logika sederhana dari model ini akan berkesimpulan bahwa semakin strategis lokasi suatu ritel dengan pelanggannya, semakin besar keunggulan yang akan diperoleh.

Namun, apakah model ini cukup representatif dalam mengurai fenomena keunggulan bersaing sebuah ritel? Setidaknya itulah yang menjadi concern utama bagi Nevin dan Houston (dalam Wong, Lu, dan Yuan, 2001). Keduanya menilai terdapat keterbatasan utama Model Gravitasi Huff tersebut. Menurutnya, asumsi model tersebut terlalu menekankan aspek kuantitatif sehingga atribut kualitatif menjadi terabaikan. Pergeseran orientasi faktor lokasi menjadi faktor non lokasi juga diidentifikasi oleh studi yang dilakukan oleh Meoli et al (1991).
Studi tersebut menemukan bahwa atribut kualitatif seperti citra toko, kepuasan berbelanja, dan loyalitas pelanggan menjadi determinan penting dalam menentukan daya tarik sebuah ritel. Pendekatan yang berbasis analisis kuantitatif yang menekankan atribut kualitatif ini kemudian memperoleh apresiasi yang cukup baik dalam kalangan akademisi. Seperti memperoleh momentum, studi lanjutan yang menekankan pada daya tarik yang berbasis atribut kualitatif juga dilakukan oleh Lindquist (1974-1975), yang merumuskan keunggulan ritel dalam sembilan dimensi, yang mencakup barang dagangan, pelayanan, personel toko, aspek fisik toko, kenyamanan, suasana toko, kepuasan toko, dan kepuasan pasca transaksi.

Bearden (1977) juga berargumen bahwa daya tarik sebuah ritel mampu menciptakan keunggulan bersaing. Daya tarik disini meliputi harga, kualitas barang dagangan, keragamana, suasana, lokasi, fasilitas parkir dan pelayanan yang ramah. Bahkan salah satu studi ritel yang cukup inovatif dilakukan oleh El-Adly (2007) yang melakukan studi dengan menggunakan mal sebagai objek kajian. Model ini dikenal dengan "Mall Attractiveness Approach". Model ini merupakan refinement dari beberapa studi sebelumnya. Model ini terdiri dari enam dimensi pokok, yaitu comfort, entertainment, diversity, mall essence, convenience dan luxury.

Dari uraian diatas, penting bagi peritel untuk memahami variabel demografis dan psikografis konsumen. Kedua variabel ini akan menjadi determinan kunci yang menentukan orientasi belanja. Perhatikan berapa banyak konsumen dari luar negeri yang mengunjungi yang mengunjungi ritel seperti Harrods atau Debenhams di Inggris. Fenomena ini menyiratkan bahwa lokasi bukan menjadi permasalahan bagi konsumen untuk memperoleh kesenangan berbelanja. Dalam psikologi, berlaku Teori Kesenangan yang Tertunda (Delay Enjoyment Theory).Teori ini menjelaskan mengapa konsumen rela untuk mengeluarkan energi yang besar (waktu, fisik, dan finansial) untuk memperoleh kesenangan yang telah mereka bayangkan.

Jika asumsinya demikian, maka sudah semestinya para pebisnis jeli membaca kondisi ini. Dengan menciptakan kesenangan berbelanja melalui positive shopping experience, maka kepuasan pelanggan akan terjadi. Positive shopping experience ini mencakup integrasi antara aspek merchandise, kebijakan harga, promosi, suasana toko yang nyaman, pelayanan pelanggan yang baik, serta layanan purna jual. Tentu saja dengan tetap mempertimbangkan faktor lokasi, karena jika konsumen melihat tidak adanya perbedaan (indifference) antara risel kita dengan ritelpesaing, maka lokasi menjadi pertimbangan penting.

0 Response to "Wawasan Dalam Manajemen Retail"

Posting Komentar